Generasi Z dan Kerapuhan Mental: Sebuah Penelusuran Mendalam
Generasi Z, yang kini menjadi sorotan utama dalam studi demografi, seringkali dikaitkan dengan isu kerapuhan mental yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Berbagai penelitian dan observasi menunjukkan peningkatan prevalensi kecemasan, depresi, dan kondisi kesehatan mental lainnya di kalangan kaum muda ini. Untuk memahami fenomena kerapuhan mental ini secara komprehensif, penting bagi kita untuk menelusuri akar penyebabnya dan konteks lingkungan tempat mereka tumbuh.
Salah satu faktor pemicu utama yang berkontribusi pada kerapuhan mental Gen Z adalah dunia digital yang mereka tinggali sejak lahir. Paparan tak terbatas terhadap media sosial, influencer, dan konten yang disaring seringkali menciptakan standar hidup dan penampilan yang tidak realistis. Perbandingan sosial yang konstan, tekanan untuk tampil sempurna, serta ketakutan ketinggalan (FOMO) dapat memicu perasaan tidak aman, rendah diri, dan kecemasan yang berkelanjutan. Sebuah survei yang diterbitkan oleh Jurnal Psikologi Sosial pada 28 Juni 2025 menunjukkan bahwa 65% responden Gen Z di kota-kota besar Indonesia mengakui adanya tekanan dari media sosial yang memengaruhi mood mereka secara negatif.
Selain itu, tekanan akademis dan tuntutan masa depan juga menjadi beban berat. Gen Z tumbuh di era persaingan global yang semakin ketat, di mana keberhasilan seringkali diukur dari pencapaian akademik dan kesuksesan karier. Ekspektasi tinggi dari orang tua, sekolah, dan masyarakat untuk berprestasi luar biasa, dikombinasikan dengan ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, dan kondisi geopolitik yang terus bergejolak, dapat menciptakan lingkungan yang penuh stres. Mereka merasa harus selalu siap menghadapi ketidakpastian tanpa bekal yang cukup.
Perubahan dalam pola asuh dan interaksi sosial juga disebut-sebut berperan. Beberapa ahli berpendapat bahwa pola asuh yang terlalu protektif, meskipun bermaksud baik, bisa membatasi kesempatan Gen Z untuk mengembangkan keterampilan coping (penyelesaian masalah) dan resiliensi saat menghadapi kesulitan. Kurangnya pengalaman dalam menghadapi kegagalan atau konflik secara mandiri dapat membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan ketika berinteraksi di dunia nyata.
Namun, penting untuk dicatat bahwa peningkatan laporan kerapuhan mental ini juga bisa menjadi cerminan dari meningkatnya kesadaran dan keterbukaan Gen Z terhadap isu kesehatan mental. Mereka lebih berani untuk berbicara tentang perasaan mereka, mencari bantuan, dan bahkan mengadvokasi pentingnya kesehatan mental. Memahami berbagai faktor ini adalah langkah awal untuk memberikan dukungan yang tepat, membangun lingkungan yang lebih suportif, dan membekali Gen Z dengan ketahanan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan.
