Stop Cyberbullying: Mengajarkan Etika Digital kepada Anak

Dunia digital telah membuka pintu bagi komunikasi tanpa batas, tetapi juga membawa risiko baru, salah satunya adalah cyberbullying. Fenomena ini, yang melibatkan perundungan melalui media sosial, pesan teks, atau platform online lainnya, telah menjadi masalah serius di kalangan anak-anak dan remaja. Untuk melindungi mereka, tidak cukup hanya dengan memantau aktivitas online mereka. Kita harus proaktif mengajarkan etika digital dan kampanye stop cyberbullying sebagai bagian integral dari pendidikan modern. Dengan demikian, kita membekali mereka dengan pengetahuan dan empati untuk berinteraksi secara aman dan positif di dunia maya.

Penting untuk menjelaskan kepada anak-anak bahwa kata-kata dan tindakan di dunia maya memiliki konsekuensi nyata. Apa yang mereka ketik atau bagikan dapat melukai perasaan orang lain sama seperti perundungan fisik. Orang tua dan guru harus menjadi role model dan memulai percakapan terbuka tentang cyberbullying. Pada hari Selasa, 21 Oktober 2025, Dinas Perlindungan Anak Jakarta Selatan mengadakan lokakarya bagi orang tua dan guru dengan tema “Membangun Ketahanan Anak dari Ancaman Dunia Maya.” Dalam acara tersebut, dijelaskan bagaimana mengenali tanda-tanda anak yang menjadi korban atau pelaku cyberbullying dan langkah-langkah yang harus diambil.


Edukasi harus mencakup konsep digital footprint atau jejak digital. Anak-anak perlu memahami bahwa apa pun yang mereka unggah di internet akan terekam selamanya dan dapat memengaruhi masa depan mereka. Sebuah survei dari Lembaga Penelitian Kualitas Hidup Digital pada 19 November 2025 menunjukkan bahwa 65% remaja tidak menyadari bahwa komentar dan foto mereka di masa lalu dapat diakses oleh calon pemberi kerja atau universitas. Menyadarkan mereka akan hal ini adalah langkah penting dalam kampanye stop cyberbullying dan promosi tanggung jawab digital.


Selain itu, kita harus mengajarkan anak untuk menjadi “warga digital” yang bertanggung jawab. Ini termasuk menginstruksikan mereka untuk tidak menyebarkan gosip atau informasi pribadi orang lain. Jika mereka melihat perundungan online, mereka harus tahu cara melaporkannya dan mendukung korban, bukan ikut-ikutan atau berdiam diri. Mengajarkan empati di dunia nyata sama pentingnya dengan mengajarkannya di dunia maya. Jika mereka merasa menjadi korban, mereka harus tahu bahwa mereka bisa meminta bantuan tanpa rasa malu. Dengan mengajarkan etika ini, kita tidak hanya mengamankan mereka, tetapi juga menciptakan komunitas online yang lebih sehat dan ramah. Kampanye stop cyberbullying bukanlah sekadar slogan, melainkan panggilan untuk bertindak dan mendidik.


Pada akhirnya, tanggung jawab untuk menghentikan cyberbullying ada di tangan kita semua. Dengan kolaborasi antara orang tua, sekolah, dan komunitas, kita bisa menciptakan generasi muda yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga berhati mulia dan bertanggung jawab dalam setiap interaksi digital.